Penyebab Struktural Penggusuran Paksa : Dari Negara, Oleh Negara
Penyebab
Struktural Penggusuran Paksa : Dari Negara, Oleh Negara
Oleh:
Muhamad Ridwan Herdika
(Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta 2020-2021)
Penggusuran
paksa menurut Komentar Umum Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (EKOSOB) ”pemindahan secara permanen atau sementara yang melawan
kehendak mereka atas individu, keluarga dan/atau komunitas dari rumah dan/atau
tanah yang mereka tempati, tanpa penyediaan dan akses terhadap bentuk-bentuk
perlindungan hukum yang tepat”. Berdasarkan laporan LBH Jakarta, pada tahun
2017-2019 di era Gubernur Anies Baswedan tedapat 91 titik penggusuran paksa (CNN
Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/nasional/
20181014161430-20-338390/lbh-jakarta-sebut-ada-penggusuran-di-91-titik-di-era-anies,
akses 24 Januari 2021). Salah satu latar belakang terjadinya penggusuran paksa
terutama di Jakarta akibat keinginan pemerintah Provinsi yang ingin membuka
Ruang Terbuka Hijau (RTH), meskipun secara ideal RTH merupakan
salah satu instrumen untuk pemenuhan hak EKOSOB terutama dibidang
pemenuham Hak Asasi Manusia (HAM) yang
menurut Karal Vasak (dalam Alstin,dkk. 2008 : 14) termasuk kedalam generasi HAM
kedua, di mana negara diharapkan berperan
aktif melaksanakan pemenuhan (to fulfilment) masyarakat untuk
mendapatkan lingkungan yang ramah. Akan tetapi, mengingat bahwa ciri khas dari
HAM yaitu interdependen-interelated-indivisblity maka jelas tidak bisa
dibenarkan bahwa memenuhi salah satu HAM dilakukan dengan cara melanggar HAM
lainnya, apalagi dalam kasus penggusuran paksa menurut Kovensi EKOSOB
digolongkan termasuk kedalam salah satu pelanggaran HAM serius karena yang dilanggar hak nya bukan hanya sebatas hak
atas tempat tinggal, tetapi juga berefek domino terhadap pelanggaran hak asasi
kesehatan, hak asasi identitas, bahkan hak asasi pendidikan (Nulhaqim, dkk. 2020 : 110).
Apabila
kita melihat dari perspektif struktural apa yang menyebabkan penggusuran paksa kian
menjadi masif dan selalu eksis, sebagaimana gerakan Bantuan Hukum Struktural
(BHS) yang menjadi dasar perjuangan LBH Jakarta untuk menegakan keadilan secara
sturktural yang substantif, maka alasan utama terjadinya penggusuran paksa
ialah karena adanya akumulasi kapital yang tepusat dikota. Kota dianggap
sebagai surga investasi (akibat regulasi pemerintah yang mendukung hal
tersebut) sehingga kota dianggap perlu dijadikan kawasan perputaran uang yang
cepat, hal tersebut memaksa masyarakat desa yang ingin menaikan taraf hidpnya
terpaksa harus berimigrasi ke kota, karena pemerintah hanya memandang daerah rural
sebelah mata dan dianggap kurang produktif sehingga pembangunan terpusat di
daerah kota. Bahkan “kota baru” yang bercorak ramah investasi-kapitalis pun
akan selalu dibuat untuk memuaskan hasrat kapitalisme terkait keuntungan yang
tidak akan habisnya. Hal tersebut
dijelaskan oleh David Harvey selaku geographer-marxists (dalam Apinino, https://indoprogress.com/2014/08/p
enyingkiran-kaum-miskin-kota-dan-hak-atas-kota/,
akses 14 Februari 2021) bahwa gerak internal kapitalisme akan selalu mencoba
menguasai ruang sebagai sarana untuk ekstraksi nilai lebih. Pada momen tersebut
kapitalisme akan selalu berusaha untuk menghilangkan ruang-ruang yang tidak
menguntukannya, hal ini memang sifat dasar dari kapitalisme itu sendiri yaitu
menguntungkan diri sendiri sebesar-besarnya secara terus-menerus. Salah satu
ruang yang disasar ekspansi dari kapalitalisme itu sendiri tentu ruang milik
masyarakat lemah, dalam hal ini masyarakat miskin kota yang dalam kerangka
logika berpikir kapitalis -yang juga diperkuat oleh hegemoni media dan
propaganda pemerintah- bahwa masyarakat miskin adalah sumber masalah dan
kesemrawutan kota. Mereka lupa bahwa kesemrawutan tersebut juga timbul karena
masyarakat miskin yang tidak terlindungi hak-hak nya oleh pemerintah. Misal hak
atas tempat tinggal yang layak dan hak atas pekerjaan (yang tentu berdampak
terhadap kesejahteraan) dilakukan pembiaran (by omission) oleh negara.
Padahal baik hak SIPOL maupun EKOSOB keduanya perlu peran aktif negara
(Prasetyo, 2012 : 3). Masyarakat miskin
mau tidak mau tinggal di tempat yang kumuh karena ruang mereka hidup
sebelumnya telah dijadikan ruang produksi bagi investor, akibat negara tidak
memberikan affirmative action sebagaimana mestinya (padahal negara
memiliki kewajiban untuk melaksanakan diskriminasi positif atau perlakuan
khusus bagi kelompok rentan [lihat Pasal 28H ayat 2 UUD 1945]). Selain masyarakat miskin kota yang tergusur secara
paksa, masyarakat yang datang dari daerah rural pun akibat pembangunan
yang terpusat di kota dapat menjadi bagian dari “masyarakat kumuh” karena upah
yang tidak sebanding dengan kebutuhan hidup. Sehingga dapat disimpulkan
terdapat dua permasalahan struktural pokok mengapa sering terjadi penggusuran paksa
di kota yaitu: (1) penggusuran paksa masyarakat miskin atas nama pertumbuhan
investasi di dalam kota; dan (2)masyarakat rural yang berubah menjadi
masyarakat urban karena kebutuhan untuk bertahan hidup -akibat
pembangunan yang tidak merata antara desa dan kota menyebabkan kota menjadi
over populasi, dan tentu hal ini berperan terhadap adanya slum area, yang
kemudian hari atas nama memperbaiki wajah kota akan digusur paksa oleh negara.
Argumentasi
diatas dapat dibuktikan dengan beberapa kebijakan pemerintah yang telah ada, contoh
kecilnya yaitu terkait ada nya kebijakan pembangunan jalan lingkar tengah timur Surabaya (Middle
East Ring Road [disingkat MERR]). Akibat penggusuran paksa yang tidak
pastisipatif tersebut mengakibatkan adanya perlawanan dari warga terutama
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mana telah puluhan tahun berdagang di tempat
tersebut (Sabrina, 2017 : 5). Hal tersebut membuat korban penggusuran paksa terpinggirkan
serta kehilangan tempat tinggal yang layak. Bukan tidak mungkin bahwa akhirnya
mereka akan berpindah ke tempat kumuh, lalu akan dicap oleh pemerintah sebagai
biang masalah kesemrawutan kota di kemudian hari. Pola tersebut pun serupa
dengan yang terjadi dalam kasus penggusuran paksa bandara New Yogyakarta
International Airport (NYIA), yang mana pembangunan tersebut merupakan
implementasi program pemerintah pusat yakni Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah tertuangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangan Menengah Nasional (RPJM) (Arifin, dkk. 2018 : 70), implikasi
kebijakan tersebut banyak masyarakat
tergusur dan ribuan masyarakat kehilangan pekerjaannya yang mayoritas
berprofesi sebagai pekerja petani
gambas, melon, semangka, terong, cabai (Arifin, dkk, 2018 : 76). Masyarakat
sekitar pun tercabut dari akar asal-usulnya, bukan tidak mungkin pula bahwa
mereka akan terpencar dan akan mengisi tempat-tempat kumuh di perkotaan, karena
memang tempat mereka hidup dan bekerja telah digusur atas nama guna mendongkrak
perekonomian nasional. NYIA pun dijanjian PT Angkasa Pura, selaku operator
bandara, akan menciptakan “kue ekonomi baru” karena akan membuka banyak
lowongan pekerjaan (Arifin, dkk. 2018 : 76), dan tentu hal tersebut menyebabkan
masyarakat berbondong-bondong berimigrasi ke tempat tersebut, bagi masyarakat
yang gagal akan persaingan atau masyarakat yang mendapat upah yang tidak layak,
maka bukan tidak mungkin atas nama kebutuhan mendapatkan hunian yang murah,
maka akan terbangun tempat-tempat kumuh baru.
Sehingga
secara singkat dapat disimpulkan, negara menggusur paksa rakyat miskin kota
untuk berpindah tempat atas nama pembangunan guna meningkatkan perekonomian
nasional yang diharapkan menciptakan
lapangan kerja baru. Setelah itu, mengingat daerah desa (rural area)
yang tidak diperhatikan oleh negara memaksa masyarakat desa mencari pekerjaan
untuk mengakses kehidupan layak ke kota. Pada akhirnya pun dapat ditebak, masyarakat
kota yang tergusur secara paksa serta kelompok transmigran desa ke kota yang gagal
bersaing atau mendapat upah tidak layak akan menghuni bahkan membuat daerah-daerah
kumuh baru, dan akan digusur kemudian hari oleh negara atas nama mengatasi
kesemrawutan kota. (Muhamad Ridwan Herdika)
Daftar
Pustaka
CNN Indonesia. 2018. LBH
Jakarta Sebut Ada Penggusuran di 91 Titik di Era
Anies.
Diakses pada 24 Januari 2021 pukul 13:59 melalui
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181014161430-20-338390/lbh-jakarta-
sebut-ada-penggusuran-di-91-titik-di-era-anies
Erika Sabrina S. 2017.
Konstruksi Sosial Masyarakat Tentang Penggusuran Lahan (Studi
Kasus
Penggusuran Lahan di Wilayah Kelurahan Gunung Anyar). Journal Unair, Vol.
6,
No. 1. Surabaya : Universitas Airlangga
Kamil Alfi Arifin dan
Umar Basuki. 2018. MEDIA DAN NYIA: (Analisis Wacana Kritis
Pembangunan
Bandara Baru New Yogyakarta International Airport dalam
Pemberitaan
Media Lokal di Yogyakarta). Jurnal Komunikasi, Vol 13, Nomor 1,
Oktober
2018. Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia
Prof. Philip Alston, dkk.
2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : PUSHAM UII
Rio Apinino. 2014. Penyingkiran
Kaum Miskin Kota dan Hak Atas Kota. Diakses pada 14
Februari
2021 pukul 12:40 melalui https://indoprogress.com/2014/08/penyingkiran-
kaum-miskin-kota-dan-hak-atas-kota/
Soni Akhmad Nulhaqim,
dkk. 2020. Upaya Preventif Konflik Penggusuran Lahan.
Jurnal.
Share : Social Work Jurnal, Vol.10, No. 10. Bandung : Departemen
Kesejahteraan
Sosial UNPAD
Yosep Adi Prasetyo. 2012.
Hak Ekosob dan Kewajiban Negara. Makalah untuk Pemerkuatan
Pemahaman
Hak Asasi Manusia untuk Hakim Seluruh Indonesia.
Komentar
Posting Komentar