Apakah Dibenarkan Hakim Tunduk terhadap Tekanan Publik atas Vonis Mati Sambo dan Vonis Bui 1,5 tahun Eliezer?
Apakah Dibenarkan Hakim Tunduk terhadap Tekanan Publik atas Vonis Mati Sambo dan Vonis Bui 1,5 tahun Eliezer?
oleh : Muhamad Ridwan Herdika, S.H.
Analis Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Komnas HAM RI Perwakilan Papua
Setahun kebelakang publik disuguhi oleh drama penegakan hukum atas peristiwa pembunuhan Brigadir Joshua. Mulai dari hilangnya CCTV di sekitar TKP hingga dugaan adanya pelecehan seksual terhadap Puteri Cenderawati. Semuanya masih sebatas dugaan hingga akhirnya terdapat babak atas kasus ini yaitu adanya vonis hakim tingkat pertama terhadap para terdakwa. Salah satu mengungkapkan fakta bahwa tidak terbukti telah terjadinya dugaan pelecehan seksual kepada Puteri Cenderawati yang dilakukan oleh Alm. Brigadir Joshua.
Selepas
masih kontroversinya putusan ini karena tidak mengungkap motif sesungguhnya
Ferdy Sambo atas pembunuhan Brigadir Joshua, namun putusan hakim tersebut harus
dihormati sebagai sesuatu yang benar sebagaimana asas hukum Res
Judicata Pro Veritate Habetur yang pada intinya menegaskan bahwa segala
putusan hakim harus dianggap sesuatu yang benar, meskipun misalnya terdapat
cacat prosedur baik dalam hukum acara maupun pembuktian materiilnya.
Oleh
karena itu, sekiranya, putusan ini diharapkan sementara dapat menghentikan
segala macam kegaduhan yang berisi dugaan-dugaan liar yang kian hari kian berkembang di masyarakat yang tentunya sangat
meramaikan, apabila tidak ingin disebut menyampahi, kolom-kolom postingan maupun
komentar di media sosial kita semua.
Namun selepas itu semua, penulis tertarik menanggapi melalui tulisan ini terkait isu apakah benar vonis hakim tersebut disandarkan atas desakan publik? lalu apabila benar, apakah hal tersebut dibenarkan baik secara etika maupun secara peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Vonis Hakim terhadap Sambo dan Eliezer merupakan Bentuk Ketundukan terhadap Tekanan Publik?
Singkatnya jawaban atas pertanyaan
ini, tidak akan ada yang bisa mengetahui kecuali dari benak hakim pengadil
perkara peristiwa itu sendiri. Namun yang pasti, tentunya rangkaian peristiwa
penegakan hukum atas kasus ini telah menjadi konsumsi publik secara luas.
Menurut penulis sendiri rangkaian atas peristiwa kasus ini sangat cocok
dijadikan inspirasi untuk pembuatan film, bahkan sinetron, di kemudian hari.
Contoh
kecilnya, terdakwa Ferdy Sambo maupun Eliezer memiliki banyak pendukung (fans)
yang selalu tampak dalam ruangan persidangan. Semuanya memiliki argumentasi
masing-masing untuk mendukung idolanya. Lalu pertanyaan kritis selanjutnya
apakah putusan hakim yang ada saat ini (Vonis Mati Ferdy Sambo dan Vonis 1,5
tahun Penjara Eliezer) merupakan bentuk tunduknya terhadap tekanan publik dalam
hal ini tunduknya terhadap tekanan pendukung Eliezer karena misalnya memiliki
pendukung yang lebih banyak?
Lagi-lagi, penulis hanya dapat mengatakan bahwa jawaban atas pertanyaan ini, tidak akan ada yang dapat menjawab kecuali dari benak hakim pengadil perkara peristiwa itu sendiri.
Lalu Apakah Publik Dibolehkan “Menekan” Pengadilan?
Konstitusi
maupun undang-undang kekuasaan kehakiman telah secara gamblang menegaskan bahwa
unsur penting dari adanya kekuasaan kehakiman ialah harus berprinsipkan
kekuasan yang merdeka sehingga terbebas dari campur tangan siapapun.
Oleh
karena itu, secara universal, di setiap negara terdapat rumusan delik contempt of court, yang secara luas dapat
didefinisikan sebagai tindak pidana menghina atau tidak menghargai
pengadilan. Niat baik dari adanya asas
hukum tersebut semata-mata ialah agar terciptanya lembaga peradilan yang
berwibawa serta bersifat imparsial dan independen yang terbebas tekanan dari pihak manapun guna
terciptanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Dalam konteks hukum positif di indonesia,
aturan mengenai ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
misalnya pada Pasal 217 KUHP yang pada pokoknya mengancam pidana barangsiapa
yang melakukan kegaduhan di muka persidangan dan Pasal 207 KUHP yang pada
intinya mengancam pidana barangsiapa yang menghina majelis hakim.
Lalu
pertanyaan selanjutnya, secara teoritis, apakah diperbolehkan publik “menekan”
pengadilan? kembali lagi, apa yang dimaksud dari kata “menekan pengadilan” itu
sendiri? apabila yang dimaksud menekan pengadilan yaitu menghina majelis hakim
maupun membuat kegaduhan dalam area persidangan agar tuntutannya tercapai tentu
tidak diperbolehkan sebagaimana aturan yang telah dijelaskan diatas.
Namun,
apabila istilah “menekan pengadilan” dimaknai sebatas, misalnya, menyampaikan
aspirasi terkait berjalannya proses persidangan di media sosial maupun
demonstrasi secara damai di tempat-tempat umum di mana pelanggaran hukumnya?.
Menurut
hemat penulis, terlalu prematur ahli-ahli hukum pidana yang berpendapat
tindakan masyarakat yang mengawasi jalannya proses persidangan dengan cara
menyampaikan aspirasi-aspirasinya dianggap sebagai salah satu tindakan contempt of court karena dinilai berusaha mempengaruhi putusan
hakim.
Mengingat hal tersebut berangkat dari asumsi-asumi keliru. Pertama, sebagaimana asas legalitas, tidak akan seseorang dikenai pidana apabila deliknya belum diatur dala undang-undang. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, contempt of court dalam hukum indonesia hanya dapat dikenai dalam tindakan-tindakan tertentu misalnya membuat kegaduhan maupun menyerang integritas hakim. Sehingga tidak diatur terkait larangan menyampaikan aspirasi saat berjalannya proses persidangan. Kedua, hakim dinilai sebagai subjek yang dipisahkan dari masyarakat. Padahal, jelas undang-undang kekuasaan kehakiman secara tegas menyatakan hakim dalam membuat putusan harus mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana hakim dapat mengetahui nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatnya apabila misalnya setiap orang takut menyampaikan aspirasinya untuk mengomentari proses persidangan karena takut delik pidana contempt of court? .
Hak Kebebasan Berbicara dan Bersikap Dijamin dalam Konstitusi dan UU 39 Tahun 1999 tentang HAM
Tujuan
adanya Hak Asasi Manusia (HAM) ialah untuk membatasi kekuasaan penyelenggara negara, dalam hal ini
tentu juga untuk membatasi kekuasaan kehakiman selaku penyelenggara negara.
Dalam
konteks hukum di indonesia, hak kebebasan berbicara serta bersikap sesuai
dengan hati nuraninya secara tegas telah dijamin dalam konstitusi UUD 1945 dan
UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Implikasinya,
segala upaya pemidanaan oleh negara terhadap seseorang yang berusaha
mengejawantahkan hak-haknya akan mendapat tantangan luas dari rezim hak asasi
manusia.
Sehingga
penulis berkesimpulan bahwa sah-sah saja masyarakat memberikan komentarnya atas
proses persidangan ini baik di media sosial maupun di dunia nyata asalkan
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Riuhnya masyarakat
dalam mengomentari proses persidangan ini jangan dimaknai sebagai upaya contempt of court terhadap lembaga
pengadilan yang kita cintai ini, apalagi dimaknai sekaligus dinilai sebagai
upaya untuk mempengaruhi isi putusan.
Komentar
Posting Komentar