Argumentasi Judicial Review Perkap No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana
Argumentasi Judicial
Review
Perkap No. 6 Tahun 2019 Tentang
Penyidikan Tindak Pidana
(Permasalahan Undue
Delay karena Tidak Ada Kejelasan Batas Waktu Penyidikan dan Sanksi
Pelanggarannya)
Oleh:
Muhamad Ridwan Herdika, S.H.
(Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta 2020-2021)
I.
Pendahuluan
Saat
ini terdapat banyak kasus yang berlarut-larut tidak segera diproses sebagaimana
mestinya (selanjutnya disebut undue delay) oleh lembaga Kepolisian
Republik Indonesia (selanjutnya disebut Polri). Terdapat beberapa pola undue
delay antara lain; (1) laporan korban atau masyarakat yang tidak segera diproses
atau dilakukan pembiaran; (2)laporan ditolak oleh aparat penegak hukum; dan (3)
status penyidikan yang berlarut-larut yang berdampak terhadap status tersangka
seseorang. Hal tersebut merupakan permasalahan struktural akibat daripada tidak
adanya pengaturan dalam hukum positif terkait batas waktu penyidikan. Dalam
kodifikasi hukum acara pidana di indonesia yangmana diatur dalam KUHAP pun
tidak mengatur terkait batas waktu penyidikan (Suswantoro, 2008:47). Hal
tersebut salah satunya berdampak terhadap status tersangka seseorang menjadi
terkatung-katung penuh dengan ketidakpastian. Padahal menurut Pasal 9 ayat (3) International
Covenant on Civil and Political Rights (selanjutnya disebut ICCPR) dengan
tegas menyatakan bahwa “setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan
tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain
yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan
berha untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan”.
Sebenarnya, dalam Kitan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP)
pun menyadari bahwa demi tercapainya keadilan serta kepastian hukum tersangka
berhak untuk segera diadili dimuka pengadilan (vide Pasal 50 KUHAP).
Akan tetapi, sayangnya KUHAP tidak merumuskan norma lebih lanjut terkait
seberapa lama batas penyidik melakukan penyidikan guna memenuhi aturan Pasal 50
KUHAP itu sendiri. Polri sebetulnya perlu diapresiasi sebelumnya karena telah
mencoba mengisi kekosongan hukum (rechtvacuum) terkait tidak adanya
batas waktu penyidikan tersebut pada tahun 2009 dengan menerbitkan Peraturan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.
12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan
Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut Perkap No.12 Tahun 2009)
meskipun kenyataannya masih dapat diperpanjang, sayangnya saat ini peraturan
tersebut telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia No.6 Tahun 2019 tentang Peyidikan Tindak Pidana (selanjutnya Perkap
No.6 Tahun 2019) yang sama sekali tidak mengatur terkait batas waktu
penyidikan, bahkan kriteria tingkat kesulitan penyidikan pun tidak diatur dalam
Perkap terbaru tersebut.
Isu
yang telah digambarkan diatas sangat penting untuk dikaji karena menyangkut pemenuhan
hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi
Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), bahkan dengan
perspektif lebih luas j terkait pemenuhan akan Hak Asasi Manusia (selanjutnya
disebut HAM). Selain itu, analisis kami terkait undue delay ini ternyata
berdampak struktural terhadap
pelanggaran HAM bagi masyarakat pada
umumnya, baik bagi pelapor yang
laporannya tidak segera diproses sebagaimana mestinya dan tentu juga
bagi terlapor yang kemungkinan akan menjadi tersangka dan perkaranya tidak
segera dilimpahkan ke pengadilan, dari dua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
undue delay melanggar asas kepastian hukum serta kedudukan yang sama
dimuka hukum (equality before the law) yang seharusnya menjadi syarat
dasar bagi negara yang mengaku menganut asas negara hukum.
II.
Pertanyaan Hukum / Permasalahan
1.
Apakah tidak adanya batas waktu penyidikan (undue delay)
tindak pidana serta tidak adanya sanksi
terhadap pelanggarannya merupakan pelanggaran HAM khususnya jaminan kepastian
hukum yang adil dan kesetaraan di depan hukum?
2.
Apakah undue delay bertentangan dengan UU Pelayanan
Publik, UU Administrasi Pemerintahan, UU POLRI, dan UU HAM?
3. Apakah
Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) berwenang mengujimaterikan Perpol 6
Tahun 2019 terhadap UU Pelayanan Publik, UU Administrasi Pemerintahan, dan UU POLRI?
III.
Kerangka Teoritis
1.
Judicial Review (Hak Uji Materi) di
Mahkamah Agung
a.
Prosedur Uji Materi Peraturan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-
Undang
Mekanisme uji materi
peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di negara Indonesia yaitu
melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung (selanjutnya MA),
hal ini karena sistem hukum indonesia menganut penyelesaian mekanisme judicial
review melalui dua lembaga kekuasaan kehakiman, yaitu melalui MA dan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) (Aris, 2020:145). Untuk pengujian
undang-undang terhadap konstitusi merupakan kewenangan MK (vide Pasal
24C ayat [1] UUD 1945 ), sedangkan untuk pengujian peraturan dibawah
undang-undang terhadap undang-undang diserahkan wewenang tersebut ke MA (vide
Pasal 24A ayat [1] UUD 1945).
Terkait tata cara
pengujian peraturan dibawah undang-undang terhadap undang-undang secara teknis
diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut PERMA) No.01 Tahun
2011 tentang Hak Uji Materiil (selanjutnya disebut HUM), hal tersebut menurut Paulus Effendi Lotulung (dalam Achmad,
2013:59) bahwa alasan prosedur HUM dibuat dalam bentuk PERMA bersandar pada
pertimbangan ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan HUM hanya bersifat singkat saja tanpa mengatur
tentang tata cara atau prosedur pelaksanaan HUM. Maka dari itu, guna mengisi
kekosongan hukum (rechtvacuum) MA sebagaimana kewenangan yang diberikan
dalam Pasal 70 UU No.14 Tahun 1985 yang pada intinya mengatakan bahwa MA dapat
mengatur lebih lanjut demi kelancaran peradilan apabila terdapat hal-hal yang
belum cukup diatur dalam undang-undang, sehingga MA mengeluarkan PERMA No.01
Tahun 2011 guna mengisi kosongan hukum terkait HUM tersebut.
Definisi dari HUM sendiri dijelaskan dalam
Pasal 1 angka 1 PERMA a quo yang
mengatakan “Hak Uji Materiil adalah Hak MA
untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-undangan dibawah UU
terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi.” Perihal
mekanisme HUM sendiri, dijelaskan melalui tabel berikut.
Tabel 1. Tata cara
serta aturan judicial review di MA menurut Perma No.01
Tahun 2011 dan UU No.3 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua
Atas UU No.14 Tahun 1985
No. |
Pasal |
Substansi |
1. |
Pasal 2 ayat (1) PERMA No.01 Tahun 2011 |
Permohonan
keberatan diajukan ke MA melalui : a.
Langsung ke Mahkamah Agung; atau b.
Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum
tempat kedudukan pemohon. |
2. |
Pasal
31A ayat (1) UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun
1985 |
Permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat
secara tertulis dalam bahasa Indonesia. |
3. |
Pasal
31A ayat (2) UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun
1985 |
Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang
menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang, yaitu: a.
perorangan warga negara Indonesia; b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau c.
badan hukum publik atau badan hukum privat. |
4. |
Pasal
1 ayat (4) PERMA No. 01 Tahun 2011 |
Pemohon
keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan
keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu
peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi yang diajukan ke MA
untuk mendapatkan putusan |
5. |
Pasal
31A ayat (3) UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun
1985 |
Permohonan
sekurang-kurangnya harus memuat: a.
nama dan alamat pemohon; b.
uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan
menguraikan dengan jelas bahwa: 1.
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau 2.
pembentukan peraturan perundang undangan tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku; dan c.
hal-hal yang diminta untuk diputus. |
6. |
Pasal
31A ayat (4) UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun
1985 |
Permohonan
pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling
lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan. |
7. |
Pasal 3 ayat (3) PERMA No.01 Tahun 2011 |
Panitera
MA wajib mengirimkan salinan permohonan keberatan tersebut ke pihak termohon. |
8. |
Pasal 3 ayat (4) PERMA No.01 Tahun 2011 |
Termohon
wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung
dalam waktu 14 hari sejak diterima salinan permohonan tersebut . |
9. |
Pasal 6 ayat (2) PERMA No.01 Tahun 2011 |
MA
dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk
umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera
pencabutannya. |
10. |
Pasal 6 ayat (3) PERMA No.01 Tahun 2011 |
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak
beralasan, MA menolak permohonan tersebut |
11. |
Pasal 8 ayat (2) PERMA No.01 Tahun 2011 |
Dalam
hal 90 hari setelah putusan MA tersebut
dikirim ke Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan peraturan
perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak mempunyai hukum yang mengikat. |
12. |
Pasal 9 PERMA No.01 Tahun 2011 |
Terhadap
putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali |
b.
Syarat Formil
Hak menguji formil (formele
toetsingsrecht) ialah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk
perundang-undangan terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana
telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau tidak (Sitompul, 2004:7). Oleh karena itu, setiap peraturan
perundang-undangan yang dibuat memerlukan adanya landasan formil konstitusional
dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan
legitimasi prosedural terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yangmana
dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat” suatu peraturan perundang-undangan
(Aziz, 2009:587). Hal tersebut sesuai dengan kewenangan MA sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
yang menegaskan bahwa MA berwenang untuk menguji apakah ketentuan
perundang-undangan yang telah dibuat memenuhi ketentuan yang berlaku atau tidak
(aspek formil).
Penjabaran diatas
merupakan dasar argumentasi apabila ingin menguji suatu perundang-undangan
secara formil, sedangkan terkait syarat formil guna melakukan HUM di MA ialah:
(1)pengajuan ialah dilakukan oleh orang atau kuasa hukumnya (vide Pasal
31A ayat 1 UU MA); (2)subjek hukum yang dapat mengajukan HUM merupakan
perseorangan WNI, kesatuan masyarakat adat yang masih diakui, dan badan hukum
publik/privat (vide Pasal 31A ayat 2 UU MA) dan; (3)bahwa yang
mengajukan HUM harus orang yang merasa dirugikan atas berlakunya suatu
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Perlu diingat bahwa norma
subjek hukum sebagaimana yang tertuang dalam poin nomor 2 telah diubah dalam
PERMA No.1 Tahun 2011 yangmana menjelaskan bahwa subjek hukum yang dapat mengajukan HUM ialah:
(1)kelompok masyarakat; dan (2)perseorangan. Hal tersebut akan dijelaskan dalam
sub-bab legal standing tersendiri. Syarat formil lainnya yaitu subjek
hukum yang mengajukan HUM perlu sekurang-kurangnya menulis nama dan alamat
serta menuliskan uraian yang menjadi
dasar bahwa muatan ayat, pasal, atau bagian peraturan dianggap bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau pembentukan
peraturan perundang undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (vide
Pasal 31A UU Mahkamah Agung).
c.
Syarat Materil
Syarat materil dalam pengajuan HUM di MA yaitu materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang harus dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi (vide Pasal 31A UU Mahkamah Agung). Perlu diingat juga
bahwa menurut Zainal Arifin Husein bahwa yang dapat menjadi objek pengujian
dalam HUM ialah peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling)
yaitu peraturan yang tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang dan mengikat secara umum, sehingga untuk peraturan dibawah perundang-undangan
yang tidak bersifat mengikat secara umum yang hanya bersifat individual,
konkret, dan final pengujiannya melalui Pengadilan Tata Usaha Negera
(selanjutnya disebut PTUN) (vide Pasal 1 angka 9 UU tentang PTUN) . Selain
itu, syarat materil lainnya perlu ada kerugian pemohon yang merasa hak nya
dirugikan atas berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut (vide 31
A ayat [2] UU Mahkamah Agung). Sehingga dapat disimpulkan bahwa syarat materil
dalam pengujian HUM di MA yaitu adanya suatu norma dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengikat secara umum yang dianggap tidak
sesuai dengan norma peraturan yang lebih tinggi, dan juga atas penerapan
peraturan tersebut dianggap merugikan hak dari pemohon HUM itu sendiri.
d.
Legal Standing
Definisi terkait legal
standing sendiri secara umum dipahami sebagai hak gugat yang melekat
terhadap subjek hukum dalam istilah dunia di dunia peradilan, dapat juga
diartikan sebagai kedudukan hukum sehingga dianggap memiliki hak untuk mengajukan permohonan perselisiahan atau
sengketa. Terdapat dua syarat utama agar legal standing untuk HUM dapat
diterima yaitu (1)subjek yang mengajukan berupa perseorangan, kesatuan
masyarakat adat, dan badan hukum publik/privat; dan (2)ada haknya yang
dirugikan secara langsung akibat berlakunya peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang. Apabila salah satu syarat dari dua syarat tersebut tidak
dipenuhi maka permohonan akan dianggap tidak dapat diterima (niet
onvankelijk verklaard) (Elpah, dkk. 2014:5). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dalam perumusan aturan legal standing dalam perkara HUM tunduk
terhadap asas hukum acara yang berlaku secara universal yaitu asas waar geen
belang geen actie/poin’t de interet poin’t de action/ no interest no action. Selain
itu, perlu juga menjadi perhatian bahwa terdapat perbedaan norma antara UU Mahkamah
Agung dengan PERMA No. 1 Tahun 2011 terkait syarat legal standing perihal hak
mengajukan HUM yangmana digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel.2
Pasal 31(A) ayat 3 UU
Mahkamah Agung |
Pasal 1 ayat (4) PERMA No.1 Tahun 2011 |
·
Perorangan Warganegara Indonesia ·
Kesatuan Masyarakat hukum adat ·
Bada hukum publik/privat |
·
Kelompok Masyarakat ·
Perorangan |
Sehingga jelas dalam
PERMA No.1 Tahun 2011 tidak hanya perorangan yang dibatasi sebagai WNI saja yang
dapat mengajukan HUM. Selain itu, dalam PERMA a quo subjek kesatuan
masyarakat hukum ada pun dihilangkan dan diganti dengan kelompok masyarakat yang tentu konsep
tersebut sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi perlu
diingat, bahwa subjek-subjek hukum diatas walaupun terdepat perbedaan
pengaturan tetap tunduk terhadap Pasal 31A ayat (2) UU MA yang secara pasif mengandung
frasa “permohonan HUM hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap
haknya dirugikan”. Frasa tersebut menegaskan bahwa tidak semua orang (actio
popularis) dapat mengajukan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan
karena disyaratkan adanya “hak
dirugikan” bagi pemohon (actio inpersonam) guna mendapatkan kedudukan hukum (legal
standing) pemohon. Syarat adanya “kerugian hak” bagi pemohon hak uji
materiil merupakan syarat mutlak (necessary condition) untuk melahirkan
hak gugat (Elpah, dkk.2014:11). Guna memahami lebih lanjut apa yang dimaksud
“menganggap haknya dirugikan” dalam syarat legal standing HUM di MA maka dapat
dikomparasikan dengan konsep istilah tersebut yang juga digunakan dalam
peradilan PTUN dan MK yangmana digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 3.
PTUN |
MK |
Menurut
Indroharto syarat “hak dirugikan” dalam PTUN berasal dari yurisprudensi peradilan
perdata, yaitu: ·
Adanya hubungan dengan Penggugat sendiri, artinya untuk dianggap
sebagai orang yang berkepentingan Penggugat itu harus mempunyai kepentingan
sendiri untuk mengajukan gugatan tersebut, ia tidak dapat berbuat atas
namanya kalau sesungguhnya hal itu adalah mengenai kepentingan orang lain. ·
Kepentingan itu harus bersifat pribadi, artinya Penggugat
itu memiliki suatu kepentingan untuk menggugat yang jelas dapat dibedakan
dengan kepentingan orang lain. ·
Kepentingan itu harus bersifat langsung, artinya yang
terkena secara langsung itu adalah kepentingan Penggugat sendiri, dan kepentingan
tersebut bukan yang diperolehnya dari orang lain. ·
Kepentingan itu secara objektif dapat ditentukan, baik mengenai
luas maupun intensitasnya. |
Yurisprudensi
MK Nomor 06/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007 perihal “syarat-syarat adanya kerugian” yang
secara konsisten diikuti oleh putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, dituliskan
sebagai berikutn: ·
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945; ·
Hak dan/atau kewenangan konstitusioan tersebut dianggap
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. ·
Kerugian hak dan/atau kewenangan konsyitusional tersebut
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaktidaknya bersifat potensial
yang berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi; ·
Adanya hubungan sebab akibat (causal verban)
dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional seperti didalilkan tidak akan terjadi lagi. ·
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya pemohon,
maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan
tidak atau tidak akan terjadi lagi. |
Oleh karena belum ada
norma yang mengatur syarat “hak dirugikan” perihal HUM, maka saat ini dapat
mengacu pada yurisprudensi dalam putusan
HUM MA RI Nomor :54 P/HUM/2013, Putusan Nomor : 62 P/HUM/2013, Putusan Nomor 64
P/HUM/2013, dan Putusan Nomor 11 P/HUM/2014 yangmana kerugian hak pemohon uji materiil
harus memenuhi 5 (lima syarat) yaitu :
1.
Adanya
hak Pemohon yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan;
2.
Hak
tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan
perundang-undangan yang dimohonkan pengujian;
3.
Kerugian
tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-setidaknya
potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;
4.
Adanya
hububungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan
berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian;
5.
Adanya
kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan uji materiil maka kerugian seperti
yang dimaksud tidak akan atau tidak terjadi lagi.
Perlu juga menjadi
perhatian, bahwa lima syarat tersebut memiliki kemiripan (similia similibus)
dengan syarat “hak dirugikan” dalam setiap putusan MK (Elpah, dkk. 2014:50)
e.
Tuntutan dan Bentuk Putusan
Pengaturan mengenai
tuntutan dalam HUM ialah diatur dalam pasal 31A ayat (3) UU MA yangmana
menyatakan bahwa syarat permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: (1)nama dan
alamat pemohon; (2)materi muatan perundang-undangan yang dianggap bertentangan
dengal perundang-undangan yang lebih tingg (materiil);(3)pembentukan peraturan
perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (formil); dan
(4)memuat hal-hal yang diminta untuk diputus. Selain itu, perlu juga diingat
bahwa harus ada penjelasan mengenai kerugian hak pemohon HUM secara langsung (waar
geen belang geen actie/poin’t de interet poin’t de action/ no interest no
action) (vide Pasal 31A ayat 2 UU MA)
Bentuk putusan dalam HUM di MA sebagaimana yang dirumuskan
dalam BAB IV PERMA No.1 Tahun 2011 yaitu: (1)dikabulkannya permohonan HUM oleh
MA karena peraturan yang diuji dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi; atau (2)ditolaknya permohan HUM oleh MA
karena dianggap tidak beralasan. Apabila permohonan HUM diterima maka MA dalam
putusannya menyatakan bahwa peraturan peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan keberatan sebagai tidak sah atau tidak berlaku secara umum, serta
memerintahkan kepada instansi yang berwenang segera mencabutnya (vide Pasal 6
yat [2] PERMA No.11 Tahun 2011). Jika instansi yang berwenang tersebut tidak
segera mencabutnya dalam jangka waktu 90 hari sejak putusan dikabulkannya
permohonan HUM tersebut, maka demi hukum objek keberatan HUM tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum (vide Pasal 8 PERMA a quo)
2.
Undue Delay
a.
Pengertian dan Bentuk-Bentuk Undue Delay
Menurut Shaleh Al-Ghiffari (dalam Bernie, https://tirto.id/betapa-sia-sia-polri-ajak-warga-jangan-ragu-lapor-tindak-pidana-f6Qt, akses pada 1 Maret
2021) yang dimasud dengan undue delay ialah pelambatan suatu proses
perkara dengan alasan yang tidak dapat diterima. Hal tersebut karena adanya
ketidakprofesionalan aparat penegak hukum dalam menjelankan tugas. Pengertian
tersebut diperkuat oleh keterangan dari Direktur LBH Jakarta Arif Maulana
(dalam Briantika, https://tirto.id/lbh-jakarta-aksi-polisi-di-program-televisi-cenderung-pencitraan-efB6, akses pada 1 Maret
2021) yang mengatakan bahwa yang dimaksud undue delay ialah suatu proses penuntasan perkara tanpa alasan.Selain
itu, menurut Catatan Akhir Tahun (selanjutnya disebut CATAHU) LBH Jakarta tahun
2020 menyatakan bahwa bentuk-bentuk undue delay yaitu; (1)adanya
penolakan laporan dikepolisian; dan (2)adanya penundaan kasus berlarut (Arif
Maulana, dkk. 2020:44), sedangkan menurut website Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
(selanjutnya disebut YLBHI) makna undue delay juga diperluas saat
kepolisian mendiamkan laporan masyarakat yang masuk (YLBHI, https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/kepolisian-ri-menegakkan-hukum-dengan-melanggar-hukum-dan-ham-serta-mengancam-demokrasi, akses pada 2 Maret
2021). Ombudsman pun menegaskan bahwa undue delay merupakan
maladministrasi dalam pelayanan publik yang memiliki ciri-ciri pelaksana layanan dalam memberikan
pelayanan mengulur-ulur waktu
penyelesaian administrasi atau masalah tanpa adanya suatu keterangan yang jelas
(Nugraha, https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--yuk-kenali-bentuk-bentuk-maladministrasi , akses pada 2 Maret
2021). Hal tersebut termasuk 10 kriteria maladministrasi yang diatur dalam
Peraturan Ombudsman Nomor 26 tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan,
Pemeriksaaan dan Penyelesaian Laporan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi dari undue
delay secara garis besar yaitu adanya maladministrasi dalam hal pemrosesan
laporan masyarakat kepada penyelenggara layanan publik yang tidak diproses
sebagaimana mestinya. Sedangkan bentuk-bentuk undue delay yaitu adanya:
(1)penolakan laporan; (2)pembiaran laporan; dan (3)penundaan kasus berlarut
yang tidak semestinya.
b.
Penyebab Undue Delay
Menurut peneliti dari Kontras, Rivanlee
Anandar, penyebab terjadinya undue delay terutama di lembaga kepolisian ialah
karena kurangnya pengawasan, audit, serta evaluasi didalam internal kepolisian itu sendiri.
Beliau mengatakan bahwa kritik publik
selalu dianggap sebagai serangan, bukan sebagai pelajaran. Selain itu, menurut
Pengacara Publik LBH Jakarta, Shaleh Al-Ghiffari, mengatakan bahwa adanya
praktik undue delay selain disebabkan permasalahan dari internal
kepolisian itu sendiri, tetapi juga akibat faktor eksternal yaitu disebabkan tidak berjalannya peran dominus
litis di lembaga kejaksaan sebagai pengawas perkara (Bernie, https://tirto.id/betapa-sia-sia-polri-ajak-warga-jangan-ragu-lapor-tindak-pidana-f6Qt , akses pada 1 Maret 2021). Dikutip dari
CATAHU LBH Jakarta Tahun 2020 salah satu penyebab undue delay terutama
dalam kasus ketenagakerjaan ialah akibat: (1)penolakan laporan akibat kurang
bukti, padahal aparat penegak hukum menurut KUHAP seharusnya proaktif bukan
pasif dalam mencari bukti awal tindak pidana; (2)ketiadaan hukum formil yang
mengatur ketentuan yang mengatur mengenai batasan jangka waktu pemeriksaan
perkara; (3)Maraknya pelanggaran disiplin dan etik aparat penegak hukum; (4)Pengawasan
yang dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (selanjutnya disebut Kompolnas)
masih cenderung pasif dimana lebih mengandalkan pada ada atau tidak adanya
aduan yang masuk. Selain itu, faktor lainnya sebagaimana rilis YLBHI dan 15 LBH
perihal Pada HUT Bhayangkara ke 73 yaitu : (1)praktik undue delay juga
sering terjadi apabila terduga pelaku merupakan personel aktif kepolisian; (2)
terduga pelaku memiliki kekuatan politik yang biasanya menyangkut perkara
seorang penguasa atau setidak-tidaknya yang dekat dengan penguasa, dengan
kekuatan politik yang dimiliki mereka dapat menunda perkara diproses oleh
penegak hukum sebagaimana mestinya; hal ini sebagaimana survei dari laporan Indonesian
Police Watch (selanjutnya disebut IPW) bahwa masyarakat menganggap polisi
tidak tegas terhadap pelaku yang memiliki kekuasaan (Nizam, 2020 : 227); dan (3)tidak
adanya efek jera untuk aparat penegak hukum yang lalai menjalankan tugas
sehingga terjadi praktik undue delay, biasanya .penjatuhan sanksi hanya sebatas
disiplin (Isnur, 2019:2-3)
c.
Pelanggaran Hak Akibat Undue Delay
Hak-hak yang dilanggar
akibat daripada praktik undue delay yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum antara lain; (1)terlanggarnya hak atas kepastian hukum sebagaimana yang
dijamin oleh negara hukum; (2)terlanggarnya hak atas kedudukan yang sama dimuka
hukum (equality before the law); (3)pelanggaran terhadap martabat
kemanusiaan karena korban undue delay dapat berstatus tersangka
bertahun-tahun tanpa proses hukum yang jelas, hal tersebut tentu melanggar asas
hkum akusator yangmana tersangka harus ditempatkan pada kedudukan menusia yang
memiliki harkat martabat. (Tabiu, 2016 : 191); (4)terlanggarnya hak segera
dihadapkan kepersidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3) ICPPR.
Selain itu, efek domino daripada pelanggaran hak tersebut dapat berupa:
(1)pelanggaran hak atas ekonomi, karena status tersangka yang melekat (inharent)
terhadap korban undue delay menyebabkan mereka sulit bekerja; (2)stigma negatif
di masyarakat karena presumption of innocene tidak sepenuhinya dipahami
oleh masyarakat. Hak atas kehidupan yang tentram pun dapat terganggu akibat
maladminisrasi undue delay karena Penetapan status tersangka kepada
seseorang dapat mengganggu kelayakan dan
ketenteraman hak hidup yang nyaman, karena bagaimanapun juga tekanan psikologis
status tersangka dapat mempengaruhi pola perikehidupan seseorang. (Bahran ,
2017:235). Tekanan psikologi yang berlarut-larut dapat menyebbakan seseorang
mengalami gangguan mental, bahkan dapat menyebabkan dorongan untul bunuh diri.
IV.
Pembahasan
1.
Prespektif Peraturan Perundang-Undangan
a.
Perbandingan Peraturan di Kepolisian terkait Penyidikan
Dalam penelitian akan menggunakan metode
pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan komparasi (comparative
approach), dan pendekatan peraturan
perundang-undangan (statue approach). Guna mengetahui perkembangan
aturan teknis terkait penyidikan di indonesia yang dianggap berdampak terhadap
adanya penanganan perkara yang berlarut (undue delay), maka perlu
membandingan aturan-aturan yang pernah ada dengan yang masih berlaku hingga
saat ini. Berdasarkan pendeketan sejarah maka setidaknya pasca reformasi
terdapat 3 (tiga) peraturan yang diterbitkan oleh Polri yang berhubungan dengan
penyidikan yaitu; (1)Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya
disebut Perkap No.12 Tahun 2009); (2)Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
(selanjutnya disebut Perkap No.14. Tahun 2012; yangmana kedua peraturan
tersebut saat ini sudah tidak berlaku dan telah digantikan oleh; (3)Peraturan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia No.6 Tahun 2019 tentang Peyidikan Tindak Pidana
(selanjutnya Perkap No.6 Tahun 2019). Perbedaan 3 aturan tersebut terkait
proses penyidikan dapat dilihat melalui tabel berikut
Tabel. 4
Perihal |
Perkap No.12 Tahun
2009 |
Perkap No.14 Tahun
2012 |
Perkap No.6 Tahun 2019 |
Kriteria Tingkat Kesulitan Perkara |
Pasal
31 ayat (1): a.
Sangat sulit b.
Sulit c.
Sedang d.
Mudah |
Pasal
17 ayat (4): a.
Perkara Mudah b.
Perkara Sulit c.
Perkara Sangat Sulit |
Tidak diatur |
Penjelasan Mengenai Kriteria Kesulitan
Perkara |
Tidak diatur |
Pasal 18 ayat (1) :
Kriteria perkara mudah antara lain: a.
saksi cukup; b.
alat bukti cukup; tersangka sudah diketahui atau
ditangkap; dan c.
proses penanganan relatif cepat. Pasal 18 ayat (2) :
Kriteria perkara sedang antara lain: a.
saksi cukup; b.
terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan
tersangka; c.
identitas dan keberadaan tersangka sudah diketahui dan
mudah ditangkap; d.
tersangka tidak merupakan bagian dari pelaku kejahatan
terorganisir; e.
tersangka tidak terganggu kondisi kesehatannya; dan f.
tidak diperlukan keterangan ahli, namun apabila
diperlukan ahli mudah didapatkan. Pasal 18 ayat (3): Kriteria
perkara sulit antara lain: a.
saksi tidak mengetahui secara langsung tentang tindak
pidana yang terjadi; b.
tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu
kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu; c.
tersangka dilindungi kelompok tertentu atau bagian dari
pelaku kejahatan terorganisir; d.
barang Bukti yang berhubungan langsung dengan perkara
sulit didapat; e.
diperlukan keterangan ahli yang dapat mendukung
pengungkapan perkara; f.
diperlukan peralatan khusus dalam penanganan perkaranya; g.
tindak pidana yang dilakukan terjadi di beberapa tempat;
dan h.
memerlukan waktu penyidikan yang cukup. Pasal 18 ayat (4)Kriteria
perkara sangat sulit antara lain: a.
belum ditemukan saksi yang berhubungan langsung dengan
tindak pidana; b.
saksi belum diketahui keberadaannya; c.
saksi atau tersangka berada di luar negeri; d.
TKP di beberapa negara/lintas negara; e.
tersangka berada di luar negeri dan belum ada perjanjian
ekstradisi; f.
barang Bukti berada di luar negeri dan tidak bisa disita; g.
tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu
kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu; dan h.
memerlukan waktu penyidikan yang relatif panjang. |
Tidak diatur |
Batas Waku Penyelesaian Perkara |
Pasal 31 ayat (2): Batas
waktu penyelesaian perkara dihitung
mulai diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan meliputi: a.
120 (seratus dua puluh) hari untuk penyidikan perkara
sangat sulit; b.
90 (sembilan puluh) hari untuk penyidikan perkara sulit; c.
60 (enam puluh)
hari untuk penyidikan perkara sedang; atau d.
30 (tiga puluh) hari untuk penyidikan perkara mudah; |
Tidak diatur |
Tidak diatur |
Permohonan Perpanjangn Penyidikan |
Pasal 32: Dalam hal batas waktu
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) penyidikan belum
dapat diselesaikan oleh penyidik maka dapat mengajukan permohonan
perpanjangan waktu penyidikan kepada pejabat yang memberi perintah melalui Pengawas
Penyidik. |
Tidak diatur |
Tidak diatur |
Pengaturan Mengenai Restorative Justice |
Tidak
diatur |
Tidak diatur |
Pasal 12 : Proses penyidikan
dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila
terpenuhi syarat materiil dan formil. |
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perkap No.6
Tahun 2019 yang berlaku saat ini memang disatu sisi lebih ramah HAM karena
mengakomodir restorative justice. Akan tetapi, norma terkait batas waktu
penyidikan tidak lagi diatur sebagaimana yang pernah diatur dalam Perkap No.12
Tahun 2009, walaupun masih dapat diperpanjang oleh aparat kepolisian tetapi
setidaknya masyarakat umum memiliki gambaran terkait batas waktu perkara dapat
diselesaikan sesuai dengan tingkat kesulitan perkara tersebut. Selain itu,
terkait tingkat kriteria kesulitan perkara tidak lagi ada sebagaimana yang
pernah diatur dalam Perkap No.14 Tahun 2012 maupun Perkap No.12 Tahun 2009.
Perlu kajian lebih lanjut mengenai bagaimana latar belakang pihak kepolisian
dapat mengeleminiasi pengaturan yang telah baik sebelumnya.
b.
Peraturan Kapolri Tahun 2019 bertentangan dengan
undang-undang UU No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan
rangkaian kegiatan guna memenuhi kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang- undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan / atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik. Sedangkan yang dimaksud penyelenggara pelayanan publik ialah setiap
institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk
berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain
yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik (vide Pasal UU
Pelayanan Publik). Oleh karena itu, Polri yang dibentuk berdasarkan
undang-undang guna memberikan pelayanan terkait keamanan di masyarakat
seharusnya dan memang semestinya tunduk terhadap UU Pelayanan Publik a quo.
Peraturan Kapolri No.6
Tahun 2019 tentang Peyidikan Tindak Pidana (selanjutnya Perkapolri No.6 Tahun
2019) yang tidak mengatur secara jelas perihal batas waktu penyidikan dapat dianggap bertentangan dengan UU No.9
Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Pelayanan Publik) karena menyebabkan ketidakpastian hukum yang adil
serta kesetaraan didepan hukum, sebagaimana norma dalam UU Pelayanan Publik
yang digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel No.5
No. |
Konsideran dan Pasal |
Substansi Paraturan |
1. |
Konsideran Huruf a |
Mempertimbangkan bahwa adanya UU Pelayanan publik bertujuan membangun kepercayaan masyarakat atas layanan publik |
2. |
Pasal 2 |
Maksud dan tujuan UU Pelayanan Publik dimaksudkan
untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara
dalamn pelayanan publik |
3. |
Pasal 3 |
Tujuan UU Pelayanan Publik yaitu terwujudnya
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. |
4. |
Pasal 4 |
Asas-asas layanan publik antara lain :
(1)kepastian hukum; (2)persamaan perlakuan / tidak diskriminatif;
(3)ketepatan waktu; dan (4)kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan |
5. |
Pasal 15 |
Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban
antara lain: (1)memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas
peyelenggaraan pelayanan publik; (2)memberikan pertanggungjawaban terhadap
pelayanan yang diberikan |
6. |
Pasal 18 |
Masyarakat berhak: (1)mendapat tanggapan
terhadap pengaduan yang diajukan; (2)mendapat advokasi,perlindungan, dan/atau
pemenuhan pelayanan; (3)mendapat pelayanan yang berkualitas seusai dengan
asas dan tujuan pelayanan |
7. |
Pasal 34 |
Perilaku pelaksana layanan publik wajib
berperilaku; (1)adil dan tidak diskriminatif; (2)tegas, andal, dan tidak
memberikan putusan yang berlarut-larut; (3)profesional; (4)tidak mempersulit;
(5)menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi
penyelenggara. |
c.
Perkap No. 6 Tahun 2019 bertentangan dengan UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan
Perkap No.6 Tahun 2019
yang tidak memberikan kepastian hukum serta keduduk yang setara didepan hukum karena
tidak mengatur batas waktu penyidikan dapat dianggap juga bertentangan dengan UU No.30 Tahun 2004
tentang Administrasi Pemerintahan, yangmana norma yang dilanggar digambarkan
dalam tabel berikut.
Tabel No.6
No. |
Pasal |
Substansi Pasal |
1. |
Pasal 3 |
Tujuan UU Administrasi Pemerintahan antara
lain; (1)menciptakan kepastian hukum; (2)mencegah terjadinya penyalahgunaan
wewenang; dan (3)menjamin akuntabilitas badan/pejabat pemerintahan;
(4)memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat; dan (5)memberikan
pelayanan sebaik-baiknya |
2. |
Pasal 5 |
Penyelenggara Administrasi Pemerintahan
berdasarkan / berasas: (1)legalitas; (2)asas perlindungan terhadap HAM; dan
(3)AUPB |
3. |
Pasal 7 ayat (2) |
Pejabat pemerintahan berkewajiban untuk:
mematuhi AUPB |
4. |
Pasal 9 ayat (4) |
Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturaan perundang-
tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang
memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB. |
5. |
Pasal 10 ayat (1) |
AUPB yang dimaksud
dalam Undang-Undang ini meliputi asas: (1)kepastian hukum; (2)kemanfaatan;
(3)ketidakberpihakan; (4)kecermatan; (5)tidak menyalahgunakan kewenangan; (6)keterbukaan;
(7)kepentingan umum; dan (8) pelayanan yang baik. |
6. |
Pasal 17 ayat (2) |
Larangan
penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: (1)larangan melampaui Wewenang; (2)larangan
mencampuradukkan Wewenang; dan/atau (3) larangan bertindak sewenang-wenang. |
7. |
Pasal 49 ayat (1) |
Pejabat
Pemerintahan sesuai dengan kewenangannya wajib menyusun dan melaksanakan
pedoman umum standar operasional prosedur pembuatan Keputusan. |
d.
Perkap No. 6 Tahun 2019 bertentangan dengan UU Nomor 2
Tahun 2002 tentang Polri
Beberapa materi muatan
dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri telah sangat baik karena mencoba
mengarusutamakan penegakan serta pemenuhan bagi masyarakat. Akan tetapi,
sayangnya dalam aturan teknis terkait penyidikan yangmana diatur dalam Perkap
No.6 Tahun 2019 belum mengatur perihal batas waktu penyidikan, padahal hal
tersebut berdampak terhadap pelanggaran HAM secara struktural. Sehingga secara
umum Perkap a quo bertentangan dengan subtansi dalam UU No.1 Tahun 2002 yangmana memiliki norma
sebagai berikut:
Tabel No.7
No. |
Konsideran dan Pasal |
Substansi Paraturan |
1. |
Konsideran huruf b |
bahwa
pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi
kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu
oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; |
2. |
Pasal 13 |
Salah satutTugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat |
3. |
Pasal 14 huruf (i) |
Dalam
melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertugas:melindungi keselamatan jiwa raga, harta
benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau
bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia; |
4. |
Pasal 16 ayat (2) |
Tindakan penyelidikan dan penyidikan yang
dilaksanakan jika memenuhi syarat salah satunya menghormat HAM |
5. |
Penjelasan Umum |
Begitu
pentingnya perlindungan dan pemajuan HAM karena menyangkut harkat dan
martabat manusia Negara Republik Indonesia telah membentuk
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi menentang
penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martaba manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang di atas. |
6. |
Penjelasan Pasal 2 |
Fungsi
kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan
keadilan. |
e.
Perkap No 6 Tahun 2019 bertentangan dengan UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM
UU No 39 Tahun 1999
tentang HAM merupakan produk hukum terpenting yang dihasilkan pasca reformasi,
karena mengatur secara rigid terkait pemenuhan serta penjagaan negara
terkait HAM bagi seluruh masyarakat. Norma UU No.39 Tahun 1999 yang diduga
bertentangan dengan Perkap No.6 Tahun 2019 yang menimbulkan ketidakadilan serta
ketidakpastian hukum dapat dilihat ditabel berikut.
Tabel 8.
No. |
Konsideran dan Pasal |
Substansi Paraturan |
1. |
Pasal 3 ayat (1) |
Setiap
orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan
sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. |
2. |
Pasal 3 ayat (2) |
Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang
adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. |
3. |
Pasal 3 ayat (3) |
Setiap
orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia,
tanpa diskriminasi. |
4. |
Pasal 4 |
Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun. |
5. |
Pasal 5 ayat (1) |
Setiap
orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh
perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya
di depan hukum. |
6. |
Pasal 18 ayat (1) |
Setiap
orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu
tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya
secara sah dalam suatu sidang pengadilan
dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan. |
7. |
Pasal 33 |
Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. |
8. |
Pasal 58 ayat (1) |
Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan
hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk,
dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau
pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut. |
V.
Kesimpulan
1.
Berdasarkan PERMA No .12 Tahun 2011, MA berwenang mengadili
perkara HUM terhadap object litis Perkap No.6 Tahun 2019 karena
peraturan a quo merupakan peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang yang mengikat secara umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
2.
Legal standing terkait HUM perlu diperhatikan terutama
terkait adanya kerugian hak secara langsung bagi pemohon, sebagaimana 5 (lima)
syarat yang telah diputus dalam
yurisprudensi yang telah yaitu putusan HUM MA RI Nomor :54 P/HUM/2013, Putusan
Nomor : 62 P/HUM/2013, Putusan Nomor 64 P/HUM/2013, dan Putusan Nomor 11
P/HUM/2014 .
3.
Kekosongan hukum (rechtvacuum) terkait batas waktu
penyidikan baik dalam KUHAP maupun dalam Perkap No.6 Tahun 2019 mengakibatkan terlanggarnya HAM secara
struktural bagi tersangka karena mengakibatkan ketidakpastian hukum.
4.
Aturan teknis terkait batas waktu penyidikan dalam aturan
kepolisian sebenarnya telah ada dalam Perkap No.12 Tahun 2009, sayangnya aturan
tersebut saat ini telah dicabut dan telah digantukan oleh Perkap No.6 Tahun
2019 yang sama sekali tidak mengatur
terkait batas waktu penyidikan.
5.
Perkap No.6 Tahun 2019 yang sama sekali tidak mengatur
terkait batas waktu penyidikan secara nromatif dapat dianggap bertentangan
dengan (1)UU Pelayanan Publik; (2)UU HAM; (3)UU Administrasi Publik; dan (4)UU
Polri.
VI.
Saran
1.
Pembuat undang-undang seharusnya memasukan norma terkait
batas waktu penyidikan dalam undang-undang dengan merivisi KUHAP yang saat ini
telah berlaku.
2. Akibat
ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh Perkap No.6 Tahun 2019, maka Perkap
No.6 Tahun 2019 seyogyanya dapat dimohonkan HUM di MA karena dapat dianggap
bertentangan dengan: (1)UU Pelayanan Publik; (2)UU HAM; (3)UU Administrasi
Publik; dan (4)UU Polri.
VII.
Daftar Pustaka
Buku, Jurnal, Artikel
Ilmiah, dan Laporan Penelitian
·
Achmad
dan Mulyanto. 2013. Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial
Review) pada Mahkamah Agung dam Mahkamah Konstitusi. Jurnal Yustisia.Vol.2,No.1,
Januari-April 2013. Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
·
Arif
Maulana, dkk. 2020. Demokrasi Ditengah Oligarki & Pandemi. Catatan Akhir
Tahun LBH Jakarta Tahun 2020. Jakarta : Lembaga Bantuan Hukum LBH Jakarta
·
Bahran.
2017. Penetapan Tersangka Menurut Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia. 2017. Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran. Banjarmasin : Fakultas
Syariah UIN Antasari
·
Dr.
Dani Elpah, dkk. 2014. Masalah Legal Standing Dalam Putusan Hak Uji Materil
Mahkamah Agung Tahun 2012 s.d. 2014. Laporan Penelitian. Jakarta :
Mahkamah Agung
·
Khairul
Nizam. 2020. Penindakan Propam (Profesi dan Pengamanan) Terhadap Anggota Polisi
Lalu Lintas Yang Melampai Kewenangannya Dalam Menjalankan Tugas (Studi di Kepolisian
Resort Kota Besar Medan). 2020. Jurnal Hukum Kaidah. Medan : Universitas
Islam Sumatera Utara
·
Machmud
Aziz. 2009. Landasan Formiil dan Materiil Konstitusional Peraturan
Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia. Desember 2009. Jakarta :
Kementerian Hukum dan HAM.
·
Muhammad
Isnur. 2019. Pada HUT Bhayangkara Ke 73. CATATAN YLBHI dan 15 LBH. Juli
2019. Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
·
Ramadhan
Tabiu. 2016. Ketidakpastian Hukum Jangka Waktu Penetapan Status Tersangka dari
Proses Penyidikan Sampai Pelimpahan Perkara ke Persidangan. Jurnal Hukum
Prioris.Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Trisakti
·
Sofyan
Sitompul. 2004. Hak Uji Materiil (Menurut Amandeman UUD 1945 dan Perbandingan
MA di Amerika Serikat). Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.1 No.3, November
2004. Jakarta : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
·
Suswantoro,
Slamet Suhartono, dan Fajar Sugianto. 2018. Perlindungan Hukum Bagi Tersangka Dalam
Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Menurut Hak Asas Manusia. 2018. Jurnal
Hukum Magna Opus. Vol.1, No.1. Agustus 2018. Surabaya : Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945.
·
Tenri
Wulan Aris. 2020. Urgensi Judicial Review Satu Atap Oleh Mahkamah Konstitusi. Jurnal
Ilmiah Ilmu Hukum. Vol.1,No.2, Juni
2020. Ternate : Fakultas Hukum Universitas Khairun
Produk Hukum
·
Undang-Undang
Dasar 1945
·
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung
·
Undang
Undang Nomor14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
·
Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
·
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
·
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia
·
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan
·
Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 6 Tahun 2019
Tentang
Penyidikan Tindak Pidana
·
Peraturan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.
12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan
Kepolisian Republik Indonesia
·
Peraturan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana
·
Peraturan
Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil
·
Peraturan
Ombudsman RI Nomor 48 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Ombudsman
Nomor 26 tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaaan dan Penyelesaian
Laporan
Internet
·
Adi Briantika. 2019. LBH Jakarta: Aksi
Polisi di Program Televisi Cenderung Pencitraan. Diakses pada 1 Mei 2021
pukul 13:17 WIB melalui https://tirto.id/lbh-jakarta-aksi-polisi-di-program-televisi-cenderung-pencitraan-efB6.\
·
Agung Nugraha. 2021. Yuk Kenali
Bentuk-Bentuk Maladministrasi. Diakses pada 2 Mei 2021 pukul 10:15 WIB melalui
https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--yuk-kenali-bentuk-bentuk-maladministrasi.
·
Mohammad
Bernie dan Adi Briantika. 2020. Betapa Sia-Sia Polri Ajak Warga "Jangan
Ragu Lapor Tindak Pidana”. Diakses pada 1 Mei 2021 pukul 12:05 WIB melalui https://tirto.id/betapa-sia-sia-polri-ajak-warga-jangan-ragu-lapor-tindak-pidana-f6Qt.
·
YLBHI.
2020. Kepolisian RI : Menegakkan Hukum dengan Melanggar Hukum dan HAM, Serta
Mengancam Demokrasi.Diakses pada 2 Meri 2021 pukul 10:10 WIB melalui https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/kepolisian-ri-menegakkan-hukum-dengan-melanggar-hukum-dan-ham-serta-mengancam-demokrasi/
Komentar
Posting Komentar