Perintah Perlindungan dan Perlindungan Sementara dalam UU PKDRT
Perintah
Perlindungan dan Perlindungan Sementara dalam UU PKDRT
Oleh :
Muhamad Ridwan Herdika, S.H.
Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta 2020-2021
1.
Pendahuluan
Perintah Perlindungan merupakan istilah hukum yang hanya ditemui
dalam Undang-Undang No.23 Tahun Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT).
Pengertian Perintah Perlindungan sendiri ialah penetapan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban (vide Pasal 1
ayat [6] UU PKDRT). Sebelum keluarnya penetapan Perintah Perlindungan dari
pengadilan, kepolisian dan lembaga sosial berwenang untuk melakukan
Perlindungan Sementara terhadap korban guna terciptanya perlindungan hukum bagi
korban (vide Pasal ayat [5] UU PKDRT). Hal tersebut pada hakikatnya
karena korban kekerasan dalam rumah tangga sangat riskan mengingat bahwa ada
relasi kuasa antara pelaku dengan korban. Selain itu, mayoritas korban ialah
perempuan sehingga dalam perspektif gender merupakan kelompok yang rentan akan
kekerasan karena dianggap sebagai kelompok subordinat dibanding laki-laki, hal
tersebut merupakan paradigma yang dibangun oleh masyarakat yang masih memegang
teguh prinsip patriariki, sehingga kekerasan terhadap perempuan sering dianggap
sebagai bagian yang lumrah untuk
memberikan “hukuman” atau “pendidikan”, terutama dalam relasi antara suami dengan
isteri.
Faktanya dilapangan menunjukan bahwa sebelum adanya UU PKDRT,
korban KDRT apabila melaporkan dugaan tindak pidana berupa KDRT kepada pihak
yang berwenang rawan mengalami reviktimisasi, misalnya suami yang mengetahui
bahwa isteri melaporkannya ke polisi menyebabkan suami lebih emosi dan malahan
melakukan tindak KDRT yang berulang, hal tersebut merupakan keadaan dilemiatis
yang dialami oleh korban dalam kasus KDRT sehingga perlu adanya pengaturan
terkait Perintah Perlindungan serta Perlindungan Sementara yang akhirnya diatur
dalam UU PDKRT guna menjamin perlindungan korban. Alasan tersebut menjadi
urgensi yang penting terkait kajian perihal Perintah Perlindungan dan
Perlindungan Sementara sebagaimana yang akan dibahas dalam tulisan ini.
2.
Rumusan Masalah
a. Bagaimana
pengaturan Perintah Perlindungan dan Perlindungan Sementara dalam UU PDKRT di
indonesia?
b. Bagaimana
implementasi Perintah Perlindungan dan Perlindungan Sementara dalam UU PDKRT di
Indonesia?
3.
Pembahasan
a. Pengaturan
Perintah Perlindungan dalam UU PKDRT
Istilah
hukum mengenai Perintah Perlindungan hanya dapat ditemui dalam Pasal 1 ayat (6)
UU PDKRT dalam peraturan perundang-undangan di indonesia, hal tersebut
merupakan manifestasi dari political will pemerintah yang ingin lebih melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga yang merupakan kelompok lemah dan rawan mengalami reviktimisasi dari
pelaku. Pengertian Perintah Perlindungan terdapat dalam pasal 1 ayat (6) UU
PKDRT yang menyatakan bahwa “Perintah Perlindungan adalah penetapan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban”. Sedangkan pengertian terkait Perlindungan
Sementara sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 yat (5) UU PKDRT ialah “Perlindungan
Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau
lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.”
Apabila
membahas terkat Perintah Perlindungan, maka erat kaitannya perlu membahas juga
terkait Perlindungan Sementara. Perintah Perlindungan sendiri merupakan
kewenangan pengadilan untuk menetapkannya sedangkan Perlindungan Sementara menjadi kewenangan kepolisian dan lembaga
sosial untuk memberikan perlindungan kepada korban sebelum adanya penetapan
Perintah Perlindungan dari pengadilan. Kedua pengaturan tersebut dapat dilihat
melalui tabel berikut ini yang substansinya mengatur perihal Perintah
Perlindungan dan Perlindungan Sementara dalam UU PDKRT:
No. |
Pasal |
Substansi Peraturan |
1. |
Pasal
1 ayat (4) |
Perlindungan
adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban
yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pengadilan |
2. |
Pasal
1 ayat (5) |
Perlindungan
Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian
dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan |
3. |
Pasal
1 ayat (6) |
Perintah
Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk
memberikan perlindungan kepada korban. |
4. |
Pasal
10 |
Korban
berhak mendapatkan : a. perlindungan
dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan; b. pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. penanganan
secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan
oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. pelayanan
bimbingan rohani. |
5. |
Pasal
15 |
Setiap
orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya
untuk : a. mencegah
berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan
perlindungan kepada korban; c. memberikan
pertolongan darurat; dan d. membantu
proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan |
6. |
Pasal
16 ayat (1) |
Dalam
waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera
memberikan perlindungan sementara pada korban. |
7. |
Pasal
16 ayat (2) |
Perlindungan
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh)
hari sejak korban diterima atau ditangani. |
8. |
Pasal
16 ayat (3) |
Dalam
waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian
perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. |
9. |
Pasal
17 |
Dalam
memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani untuk mendampingi korban. |
10. |
Pasal
28 |
Ketua
pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan
wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi
korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut. |
11. |
Pasal
29 |
Permohonan
untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh : a. korban
atau keluarga korban; b. teman
korban; c. kepolisian; d. relawan
pendamping; atau e. pembimbing
rohani. |
12. |
Pasal
30 ayat (1), (2), (3), dan (4) |
(1) Permohonan
perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. (2) Dalam
hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat
wajib mencatat permohonan tersebut. (3) Dalam
hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban,
kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus
memberikan persetujuannya. (4) Dalam
keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban. |
13. |
Pasl
32 ayat (1), (2), dan (3) |
1) Perintah
perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun. 2) Perintah
perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. 3) Permohonan
perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir
masa berlakunya |
14. |
Pasal
33 ayat (1) dan (2) |
1)
Pengadilan dapat menyatakan satu atau
lebih tambahan perintah perlindungan. 2)
Dalam pemberian tambahan perintah
perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban,
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani. |
15. |
Pasal
34 ayat (1) dan (2) |
1)
Berdasarkan pertimbangan bahaya yang
mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi
dalam perintah perlindungan. 2)
Dalam pemberian tambahan kondisi dalam
perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari
korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing Rohani |
16. |
Pasal
39 ayat (1) dan (2) |
1)
Apabila pengadilan mengetahui bahwa
pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan
pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk
membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi
perintah perlindungan. 2)
Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan
surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari. |
b.
Implementasi Perintah Perlindungan dalam UU
PDKRT
Sebelum
membahas penerapan Perintah Perlindungan dalam UU PDKRT perlu juga membahas
terkait dengan implementasi Perintah Perlindungan Sementara sebagaimana yang
diatur juga dalam UU PKDRT.
a.
Implementasi Perlindungan Sementara dan
Perintah Perlindungan sebagaimana diatur dalam UU PDKRT
Unit yang
menangani terkait dengan Perlindungan Sementara ialah d Unit PPA di lembaga
kepolisian terkait apabila menangani perkara KDRT. Praktiknya tidak semua kasus
KDRT mendapat perlindungan semntara dari kepolisian karena: (1)korban menolak
diberikan perlindungan sementara; (2)bobot perkara KDRT masih sangat ringan sehingga
korban hanya mendapatkan konseling dan pengamanan sementara (Glorianto, 2019:32).
Selain itu, pada Polrestabes Semarang juga pihak kepolisian biasanya setelah
mendapat bukti yang kuat polisi dapat melangsungkan tindakan penangkapan
terhadap tersangka KDRT serta memindahkan korban ke tempat yang lebih aman dan
meminta bantuan kepada warga sekitar untuk memberikan kemanan bagi korban,
apabila korban tidak mau dipindahkan ke tempat rumah aman(shelter). (Glorianta,
2019:33).
Berdasarkan
data yang didapat pada Unit PPA di Polsek Semarang bentuk-bentuk Perlindungan
Sementara yang pernah dipraktikan oleh Unit PPA dapat berbagai macam, misalnya
: (1)memindahkan korban kerumah aman; (2)menjaga kerahasiaan identitas korban;
(3)bekerjasama dengan BABINSA ditempat korban; (4)menangkap pelaku apabila bukti
permulaan telah cukup. Hal tersebut
sebagaimana keterangan dari IPDA Prastiwi Hermawati bahwa menangkap pelaku merupakan salah satu
bentuk Perlindungan Sementara bagi korban (Glorianta: 2019:44)
Sedangkan
lembaga sosial biasanya memberikan Perlidungan Sementara berupa: (1)memindahkan
korban kerumah aman; dan (2)konsultasi bagi korban. Perlu juga diingat bahwa
menurut UU PKDRT seharusnya hak Perlindungan Sementara melekat kepada korban
sejak korban melaporkan dugaan tindak pidana ke lembaga yang berwenang, hal
tersebut dicerminkan dalam peraturan di UU PKDRT yang menjelaskan bahwa dalam 1x24 jam saat
polisi menerima pengaduan maka polisi wajib memberikan perlindungan sementara
bagi korban (vide Pasal 16 ayat [2] UU PKDRT)
b.
Implementasi Perintah Perlindungan
sebagaimana yang diatur dalam UU PDKRT
Praktik
terkait Perintah Perlindungan hingga saat ini masih jarang ditemui dilapangan. Misalnya dalam praktik penegakan hukum Pengadilan
Negeri Ambon belum pernah sama sekali karena belum ada pihak yang mengajukan.
Oleh karena, Pihak PN Ambon tidak bisa secara sepihak mengeluarkan Perintah
Perlindungan tanpa ada dari pihak kepolisian atau lembaga lain yang mengajukan (vide Pasal 16
ayat (3) UU PDKRT).
Polres Ambon
sendiri menyatakan belum adanya pengajuan permohonan Perintah Perlindungan ke
PN Ambon ialan karena: (1)pelaku KDRT sudah berada dalam tahanan, sehingga
tidak perlu dikhawatirkan akan melakukan tindak pidana KDRT kepada korban lagi;
dan (2)korban telah berdamai dengan pelaku, hal tersebut menurut Kapolres Ambon
karena dalam perkara KDRT kebanyakan kasus suami yang menjadi terdakwa dapat
berdamai dengan korban, karena bagaimanapun korban merupakan isterinya sendiri
(La Jamaa, 2014:270). Menurut data dari LSM di Jawa Tengah sendiri menyebutkan
bahwa hanya satu (1) pengadilan di Provinsi Jawa Tengah yang pernah menerbitkan
Perintah Perlindungan dari sekian banyak pemgadilan negeri (Kalibonsi,
2008:40). Oleh karena faktor-faktor tersebut, penerapan Pasal 16 ayat (2) UU
PKDRT yang mana menjelaskan bahwa polisi diwajibkan mengajukan surat Perintah
Perlindungan ke pengadilan pasca 1x24 jam memberikan Perlindungan Sementara
bagi korban jarang diimplementasikan dilapangan.
Perlu juga
diingat bahwa Perintah Perlindungan yang dikeluarkan pengadilan tidak serta
merta mengabaikan hak-hak suami isteri dalam rumah tangga, sehingga pengadilan
dapat mengeluarkan Perintah Perlindungan tanpa perlu memisahkan antara
suami-isteri apabila pelaku diyakini oleh hakim tidak akan mengulangi perbuatan
KDRTnya (La Jamaa,2014:262-263). Apabila pelaku tetap melakukan pelanggaran
terhadap Perintah Perlindungan maka pihak pengadilan dapat menahan pelaku selama
30 hari sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU PDKRT. Selain itu
polisi pun dapat memproses pidana pelaku lebih lanjut apabila pelaku melanggar
Perintah Perlindungan.
Selain
pengaturan mengenai penetapan Perintah Perlindungan yang masih jarang
diimplementasikan oleh pengadilan, bahkan mengenai pidana tambahan yang
diatur juga dalam UU PKDRT belum pernah sama sekali diterapkan
oleh pengadilan (Kalibonso, 2008:40).
Pidana tambahan dalam KDRT sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU
PKDRT mengatakan bahwa “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a.
pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk enjauhkan
pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku;
b.
penetapan pelaku mengikuti program konseling di
bawahpengawasan lembaga tertentu.”
f.
Kesimpulan dan Saran
UU PKDRT mengatur perihal terminologi hukum baru dalam
hukum positif di indonesia yaitu Perintah Perlindungan dan Perlindungan
Sementara yangmana istilah tersebut hanya dan baru diatur dalam UU PKDRT hingga
saat ini. Pada hakikatnya Perlindungan Sementara ialah perlindungan yang
diberikan oleh kepolisian atau lembaga sosial
atau pihak lainnya kepada korban
seraya menunggu penetapan Perintah Perlindungan yang dikeluarkan oleh
pengadilan. Akan tetapi, faktanya dilapangan hanya bentuk hak Perlindungan
Sementara yang biasanya dinikmati oleh korban KDRT. Hal tersebut karena salah
satunya menurut kepolisian bahwa tersangka biasanya langsung ditahan, sehingga
tidak mungkin melakukan tindak kekerasan yang berulang kepada korban. Selain
itu, faktor lainnya karena biasanya pihak yang berperkara yaitu suami-isteri
telah berdamai di kepolisian sehingga dianggap tidak perlu mengajukan Perintah
Perlindungan ke pengadilan yang berwenang lebih lanjut.
Perintah Perlindungan yang dikeluarkan hakim juga tidak
serta merta otomatis memerintahkan pemisahan antara suami dan isteri, tetapi
dapat pula berbentuk peringatan kepada suami agar tidak lagi mengulangi
perbuatan kekerasannya kepada pihak isteri apabila hakim yakin bahwa pelaku
tidak akan mengulangi perbuatannya, hal tersebut mengingat bahwa pengadilan
juga memperhatikan hak-hak suami isteri dalam berumah tangga. Apabila dilanggar
Perintah Perlindungan tersebut maka
pengadilan dapat menahan selama 30 hari kepada pelaku KDRT dan polisi pun dapat
langsung memproses pidana pelaku lebih lanjut.
g.
Daftar Pustaka
·
La Jamaa. 2014. Perlindungan Korban
Kekerasan dalam Rumah Tangga Dalam Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Cita
Hukum, Vol.1.No.2. Desember 2014. Ambon : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
IAIN Ambon
·
Lie,Octtora Brandon Glorianto. 2019. Peran
Polisi dalam Memberikan Perlindungan Sementara Kepada Korban (Istri) dari
Kekerasan Suami dalam Rumah Tangga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 yentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Polrestabes
Semarang). Skripsi. Semarang : Fakultas Hukum Universitas Katolik
Soegijapranata
·
Rita Serena Kalibonso. 2008. Penegakan Hukum Kejahatan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.5, No.3. September 2008. Jakarta : Kementerian Hukum
dan HAM
·
Undang – Undang No.3 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Komentar
Posting Komentar